HumasDPRD - Pada Rapat Paripurna DPRD Kota Bandung, Senin (3/7/2023), Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bandung memberikan Pandangan Umum terhadap tentang Pelayanan Bidang Pangan, Pertanian, dan Perikanan; Penyelenggaraan Perhubungan; Pedoman Pengembangan, Penataan dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan; Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; serta Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022.
Setelah mempelajari dan mendalami Naskah Akademik maupun Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan, Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bandung menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber utama dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berbagai upaya untuk meningkatkan PAD dilakukan untuk memperlancar jalannya pembangunan dan pemerintahan daerah.
Naskah Akademik yang menjadi landasan penyusunan Raperda ini secara komprehensif telah mengulas urgensi dari pembuatan Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi untuk segera dilakukan, khususnya pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Bertepatan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang telah berakhir, keberadaan Perda ini semakin strategis untuk meningkatkan capaian PAD yang lebih baik. Optimisme ini terasa dengan melihat capaian pendapatan daerah Kota Bandung khususnya dari pajak hotel, restoran, hiburan, dan pajak parkir yang pada tahun 2022 mencapai sekitar Rp744 miliar atau 35 persen dari PAD Kota Bandung. Angka ini meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya, saat pandemi Covid-19 melanda. Realisasi pada tahun 2020 terhimpun sebesar Rp416 miliar atau sebesar 25 persen dari PAD Kota Bandung. Sementara, tahun 2021 sebesar Rp405 miliar atau 24 persen dari PAD Kota Bandung.
Optimisme meningkatkan PAD dari pajak dan retribusi daerah ini cukup beralasan mengingat warga Kota Bandung dinilai sebagai warga yang paling taat membayar pajak di wilayah Jawa Barat. Kita mendengar sekitar 90 persen warga Kota Bandung, taat menunaikan kewajibannya.
Tentu saja Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini patut mendapat dukungan dari semua pihak. Namun demikian, kita tidak boleh terlalu cepat berpuas diri. Kita perlu meningkatkan capaian tersebut semaksimal mungkin. Bagaimana upaya dari Pemkot Bandung untuk meningkatkan capaian tersebut? Apa saja inovasi yang dilakukan sehingga kesadaran dan kepatuhan warga dalam membayar pajak meningkat? Fraksi Partai Demokrat memohon penjelasan kepada Pemerintah Kota Bandung.
Belakangan ini persoalan pajak di Indonesia diterpa isu miring, nada negatif, dan terusiknya rasa keadilan masyarakat. Kita semua ingat sejumlah kasus yang melibatkan para pejabat di lingkungan Ditjen Pajak, mulai dari isu korupsi, penggelapan, hingga gaya hidup hedonistis dan pamer kemewahan. Semua ini membuat masyarakat lebih sensitif terhadap berbagai hal menyangkut perpajakan. Bahkan di dunia maya pernah beredar ajakan untuk memboikot pajak.
Dalam konteks pajak dan retribusi daerah, Fraksi Partai Demokrat meminta penjelasan bagaimana upaya Pemerintah Kota Bandung untuk menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menunaikan kewajibannya dalam membayar pajak? Bagaimana upaya Pemerintah Kota Bandung menjaga serta meningkatkan integritas dan kualitas aparatur pengelola keuangan dalam menjalankan tugasnya?
Catatan lain Fraksi Partai Demokrat adalah menyangkut Retribusi Daerah. Sudah sejak lama kita mengetahui bahwa perolehan sejumlah retribusi daerah di Kota Bandung terbilang rendah.
Perolehan retribusi sampah di Kota Bandung misalnya, sejak dulu hanya sekitar 30 persen warga yang patuh membayar retribusi sampah. Sementara itu, dalam soal retribusi parkir misalnya, Dinas Perhubungan Kota Bandung pernah menyatakan retribusi parkir tahun 2022 lalu yang terealisasi hanya sebesar Rp9,73 miliar atau sekitar 39 persen saja dari target Rp25 miliar.
Sehubungan dengan itu, Fraksi Partai Demokrat mempertanyakan apakah Raperda ini diyakini dapat meningkatkan perolehan retribusi untuk Kota Bandung? Pada bagian mana dari Raperda ini yang akan memberi terobosan baru dalam meningkatkan perolehan retribusi?
Raperda Pelayanan Bidang Pangan, Pertanian, dan Perikanan
Isu ketahanan pangan adalah salah satu isu strategis di belahan dunia mana pun. Hal ini terbukti saat kita semua mengalami situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Bahkan, Food and Agriculture Organization (FAO) mengatakan bahwa dampak pandemi COVID-19 dapat menimbulkan krisis pangan baru.
Melihat strategisnya persoalan ketahanan pangan ini, maka penyusunan Raperda ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan kita semua. Fraksi Partai Demokrat menilai Kota Bandung memang perlu memiliki perda baru tentang pelayanan bidang pangan, pertanian, dan perikanan karena perda yang lama sudah tidak akomodatif lagi dengan perkembangan zaman.
Naskah Akademik Raperda ini telah komprehensif menyajikan besaran masalah yang dikaji. Demikian juga dengan draft Raperda yang mencakup 11 Bab dan terdiri dari 28 pasal.
Pada Pasal 4 khususnya ayat (2) disebutkan bahwa untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian pangan Pemerintah Daerah dapat menyediakan Gudang Cadangan Pangan. Secara teknis, Fraksi Partai Demokrat meminta kejelasan Pemkot Bandung terkait bagaimana konsep dari Gudang Cadangan Pangan tersebut? Meskipun nantinya diatur dalam Peraturan Wali Kota, seperti disebutkan pada ayat (3), namun tentunya Pemkot Bandung telah memiliki gambaran awal mengenai Gudang Cadangan Pangan ini.
Isu ketahanan pangan tentu saja berkaitan dengan ketersediaan sumber pangan. Dalam hal ketersediaan lahan untuk menjaga ketahanan pangan disebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kota mengalokasikan Lahan Sawah Dilindungi sesuai dengan kemampuan Daerah kota (Pasal 5 ayat 2).
Lalu, Fraksi Partai Demokrat meminta penjelasan bagaimana caranya Pemkot Bandung mengalokasikan lahan sawah dilindungi ini? Di manakah lokasi sawah dilindungi ini nantinya? Bagaimana kemampuan Pemerintah Kota mengalokasikan Lahan Sawah Dilindungi ini? Apakah sudah ada kajian yang melandasinya?
Seperti kita ketahui, saat pandemi Covid-19 memuncak, isu kerawanan pangan menyeruak. Raperda ini secara khusus memuat mengenai penanganan kerawanan pangan seperti tercantum pada Bagian Keempat. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kota dapat melaksanakan program pertanian perkotaan (urban farming) secara berkelanjutan (Pasal 6 ayat 2).
Seperti kita ketahui, Pemkot Bandung sendiri memiliki program Buruan SAE sebagai sebuah program urban farming terintegrasi yang digalakkan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung. Mengingat strategisnya program ini, Fraksi Partai Demokrat mempertanyakan bagaimana evaluasi atas program Buruan SAE ini? Apa tantangan yang dihadapi? Hal ini penting diketahui mengingat konsep urban farming dicantumkan dalam Raperda ini.
Hal terakhir yang menjadi perhatian Fraksi Partai Demokrat adalah menyangkut Pelayanan Bidang Pertanian, khususnya mengenai kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, hingga terkait Rumah Potong Hewan, yang diatur dalam sejumlah pasal pada Bab IV Raperda ini.
Seperti kita ketahui bersama, secara global peningkatan penularan penyakit antara manusia, hewan, dan lingkungan berpotensi menjadi ancaman pandemi, sehingga ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan koordinasi lintas sektor. Dalam hal ini, kita mendengar adanya Pendekatan One Health, yang dinilai sebagai pendekatan terbaik untuk mencegah dan merespons pandemi di masa mendatang, terutama dalam mencegah zoonosis atau penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Dalam konsep One Health, salah satu langkah yang penting adalah penguatan surveilans. Bagaimana sistem surveilans dalam mencegah zoonosis di Kota Bandung? Sudahkah konsep One Health dengan sistem surveilans untuk mencegah zoonosis dipertimbangkan secara matang dalam Raperda ini?
Raperda Penyelenggaraan Perhubungan
Warga Kota Bandung telah lama menantikan sistem transportasi perkotaan yang tertata dengan baik. Secara umum, Raperda tentang Penyelenggaraan Perhubungan ini cukup komprehensif.
Hal ini tercermin dari jumlah keseluruhan pasal yang mencapai 292 pasal dan dibagi ke dalam 18 Bab. Meski demikian, Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bandung menyampaikan sejumlah pandangan atas Raperda ini.
Seperti diketahui, salah satu masalah di Kota Bandung adalah tingkat kemacetan lalu lintas yang kian mengkhawatirkan. Dinas Perhubungan Kota Bandung sendiri pernah melansir data bahwa saat ini ada sekitar 2,2 juta kendaraan di Kota Bandung dan jumlah ini hampir setara dengan populasi penduduknya. Artinya, jumlah kendaraan dengan jumlah populasi penduduk hampir sama. Sedangkan pertambahan luas jalan tidak seimbang dengan pertambahan kendaraan.
Pada saat bersamaan, kita semua mendorong Pemkot Bandung untuk meningkatkan pelayanan transporasi publik, agar jumlah kendaraan pribadi berkurang. Selain itu, awal tahun ini kita juga mendengar upaya Pemkot Bandung untuk mengonversi angkutan kota menjadi mikrobus atau yang dikenal dengan Bus Rapid Transit (BRT).
Dua angkutan kota dikonversi menjadi satu mikrobus, berkapasitas 20 penumpang. Hal ini telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengan Daerah (RPJMD) Kota Bandung dan diharapkan pada 2024 sudah bisa dimulai.
Sehubungan dengan itu, Fraksi Partai Demokrat meminta penjelasan Pemerintah Kota Bandung, apakah Raperda tentang Penyelenggaraan Perhubungan ini telah sejalan dengan upaya kita dalam mendorong penggunaan transportasi publik untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi? Sejauh mana Raperda ini mampu mendukung penggunaan transportasi publik, khususnya BRT?
Salah satu azas dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas “dapat dilaksanakan”. Ini sesuai dengan pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam konteks ini, apakah berbagai pengaturan yang termuat dalam Raperda Penyelenggaraan Perhubungan ini dapat dilaksanakan dan realistis untuk diterapkan?
Ambil contoh seperti pada Paragraf 5 Fasilitas Terminal Penumpang. Pada Pasal 35 tercantum rincian berbagai Fasilitas Penunjang di Terminal Penumpang, mulai dari fasilitas penyandang disabilitas dan ibu hamil atau menyusui, pos kesehatan, fasilitas kesehatan, hingga fasilitas umum seperti area merokok dan fasilitas telekomunikasi dan/atau area dengan jaringan internet.
Fraksi Partai Demokrat berpandangan, apakah Pemkot Bandung memiliki cukup keyakinan dapat mengadakan semua fasilitas penunjang seperti tersebut di atas? Bagaimana pun, Fraksi Partai Demokrat akan mendukung sepenuhnya apabila Pemkot Bandung mampu mewujudkan berbagai fasilitas yang ideal tersebut.
Salah satu isu penting dalam dunia transportasi saat ini adalah penggunaan kendaraan yang ramah lingkungan melalui penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) untuk transportasi jalan. Raperda ini cukup akomodatif dengan perkembangan zaman. Pengaturan terkait program kendaraan bermotor listrik diatur cukup rinci melalui BAB IV Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai.
Mengingat pentingnya upaya mendorong penggunaan kendaraan bermotor listrik ini, Fraksi Partai Demokrat ingin mengetahui sejauh mana Pemkot Bandung mempersiapkan infrastrukturnya? Berapa banyak infrastruktur pengisian listrik untuk KBL berbasis baterai ini akan disediakan? Di mana saja nantinya Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) ini akan ditempatkan?
Raperda Pedoman Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan Dan Toko Swalayan
Gagasan dasar tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko swalayan di Kota Bandung telah dipahami Fraksi Partai Demokrat melalui uraian dalam Naskah Akademik. Kebutuhan adanya perda yang baru memang terasa urgen, karena pusat perbelanjaan dan toko swalayan di Kota Bandung selama ini diatur oleh perda yang lama, yakni Perda No. 2 tahun 2009 tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Saat ini, Perda itu sudah tidak mampu menjawab kebutuhan kita. Selain itu, dalam kurun waktu 14 tahun semenjak Perda itu keluar, telah banyak peraturan lain yang lahir dan beririsan dengan berbagai hal yang diatur dalam perda.
Raperda ini tampaknya telah cukup baik mengatur pedoman tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan sentra-sentra perbelanjaan ini. Sejumlah pertimbangan dalam menjaga praktik usaha yang sehat, serta terbukanya kesempatan berusaha yang kompetitif dan berkeadilan telah tercermin dalam Naskah Akademik dan draft Raperda ini. Hal itulah yang mendasari kewajiban pusat perbelanjaan dan toko swalayan untuk bermitra dengan para pelaku usaha, seperti tercantum dalam Bab VI Raperda ini.
Hal ini sejalan dengan upaya kita semua mendorong penguatan pelaku usaha, terutama pada kelompok usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMK-M). Dukungan pada usaha mikro dan usaha kecil juga telah diatur di antaranya melalui Permendag No. 23 tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan, khususnya Pasal 7 ayat (7) yang mewajibkan pusat perbelanjaan untuk menyediakan ruang usaha dan/ atau ruang promosi untuk usaha mikro dan usaha kecil dan/ atau pemasaran produk dalam negeri dengan merek dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas areal Pusat Perbelanjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik yang dibahas ini juga telah mencantumkan peraturan tersebut sebagai konsideran dalam Raperda ini. Namun demikian, dalam draf Raperda yang kita bahas kali ini, pusat perbelanjaan hanya diwajibkan menyediakan ruang tempat bagi usaha mikro dan usaha kecil paling sedikit 10 persen dari luas ruangan jual beli, seperti terlihat dalam Pasal 12 ayat (3). Bukan 30 persen. Fraksi Partai Demokrat meminta Pemkot Bandung memberikan penjelasan atas hal itu.
Sesuai dengan judulnya, Raperda ini akan mengatur tiga hal pokok menyangkut pusat perbelanjaan dan toko swalayan di Kota Bandung, yaitu pengembangan, penataan, dan pembinaannya. Artinya, ketiga hal tersebut adalah pokok pikiran dalam menjawab kebutuhan kita hari ini terhadap pusat perbelanjaan dan toko swalayan.
Oleh karena faktor pembinaan dan pengawasan ini adalah hal penting, maka kita perlu mengetahui bagaimana praktik pembinaan dan pengawasan itu akan diterapkan. Bagaimana metodenya? Bagaimana jangka waktunya?
Meskipun nantinya pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh tim yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota, tentunya Pemerintah Kota Bandung telah memiliki gambaran secara teknis, bagaimana melakukan pembinaan dan pengawasan tersebut.
Hal lain yang ingin Fraksi Partai Demokrat cermati adalah menyangkut konsistensi penggunaan sejumlah istilah serta kelengkapan daftar istilah yang telah didefinisikan dalam Bab I Ketentuan Umum dalam Raperda ini.
Pada bagian Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 18, terdapat istilah Pasar Rakyat. Namun demikian, pada Pasal 8 huruf b yang mengatur jarak dan lokasi Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan masih digunakan istilah “Pasar Tradisional”, bukan “Pasar Rakyat” seperti tercantum dalam Ketentuan Umum. Padahal kita ingat, istilah Pasar Tradisional tidak lagi dikenal dan berganti menjadi Pasar Rakyat mulai tahun 2014 saat UU Perdagangan nomor 7 tahun 2014 diberlakukan.
Masih berkaitan dengan peristilahan, terdapat istilah tertentu pada beberapa pasal Raperda ini yang tidak didefinisikan dalam Ketentuan Umum. Padahal istilah tersebut cukup penting untuk dijelaskan, misalnya istilah “Jalan Kolektor” dan “Kawasan Pusat Primer.”
Pada Bab IX mengenai Jam Operasional khususnya pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), baik pusat perbelanjaan maupun toko swalayan semuanya diatur dengan jam operasional mulai pukul 10.00 WIB.
Fraksi Partai Demokrat mempertanyakan, apa yang mendasari penetapan awal jam operasional ini? Apakah sudah sesuai dengan dinamika masyarakat, di mana warga Kota Bandung pada umumnya sudah mulai beraktivitas lebih pagi sebelum pukul 10.00 WIB? Bagaimana pun, warga Kota Bandung memiliki karakteristik masyarakat urban yang dinamis sehingga memerlukan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Catatan terakhir Fraksi Partai Demokrat untuk Raperda ini menyangkut perlindungan pada konsumen. Keberpihakan pada hak-hak konsumen perlu mendapat tempat dalam berbagai kebijakan, terutama dalam perda seperti ini.
Dalam raperda ini, Fraksi Partai Demokrat tidak melihat adanya pasal yang berorientasi pada perlindungan konsumen. Pada Bab XI mengenai Hak, Kewajiban dan Larangan, alangkah baiknya jika diatur juga mengenai kewajiban untuk mencantumkan harga barang secara jelas, atau kewajiban untuk menyediakan layanan pengaduan bagi konsumen. Hal semacam ini dapat menunjukkan upaya kita dalam merancang kebijakan yang berorientasi pada perlindungan hak-hak konsumen.
Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022
Berkaitan dengan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Bandung Tahun Anggaran 2022, Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bandung perlu memberi catatan atas diperolehnya opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran (TA) 2022.
Hal ini telah dipublikasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melalui situs resminya pada 31 Mei 2023 lalu. Dengan opini WDP tersebut, pada hemat Fraksi Partai Demokrat, masih ada penyelenggaraan keuangan yang tidak atau belum memenuhi standar pengelolaan keuangan yang baik.
Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bandung berharap ke depannya ada peningkatan yang lebih baik lagi sehingga Kota Bandung kembali dapat memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) seperti yang pernah diraih sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, opini WTP selalu menjadi cita-cita kita bersama sebagai cermin dari pengelolaan anggaran yang transparan, akuntabel, efisien, dan efektif.
Setelah mencermati dengan saksama Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Bandung Tahun Anggaran 2022, Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bandung memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
Realisasi Pendapatan Daerah tahun anggaran 2022 mencapai Rp6,415 Triliun atau 94,01 persen dari anggaran setelah perubahan sebesar Rp6,824 Triliun.
Melihat capaian pendapatan yang belum 100 persen, maka Pemkot Bandung perlu mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, di antaranya dengan meningkatkan pendapatan dari sektor pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Meskipun dibandingkan tahun 2021 realisasi pendapatan dari pajak daerah dan retribusi daerah tahun 2022 mengalami peningkatan, namun capaian angkanya masih di bawah 90 persen. Bahkan realisasi pendapatan dari sektor Retribusi Daerah hanya mencapai Rp30,927 milyar atau hanya sekitar 77 persen saja. Apabila kita bandingkan dengan realisasi tahun 2021, hanya terjadi peningkatan sebesar sekitar Rp835 juta.
Oleh karena itu, Pemkot Bandung perlu membuat inovasi dan terobosan agar capaian dari pajak dan retribusi ini dapat optimal.
Realisasi Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022 adalah sebesar Rp6,473 Triliun atau 87,33 persen dari alokasi anggaran setelah perubahan. Rata-rata realisasi capaian belanja perangkat daerah dalam urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar ada di kisaran angka 85,43 persen. Fraksi Partai Demokrat berharap semoga ke depannya realisasi ini bisa lebih mendekati angka yang sesuai alokasi anggaran yang telah ditetapkan.
Dalam Raperda ini disebutkan bahwa angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp529,38 miliar. Angka ini terbilang cukup besar dan mengindikasikan adanya program atau kegiatan yang tidak terlaksana serta adanya perencanaan yang kurang cermat. Fraksi Partai Demokrat berharap kinerja Pemkot Bandung dapat lebih baik lagi.
Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Bandung Tahun Anggaran 2022 ini telah disusun dengan baik dan sistematis. Fraksi Partai Demokrat melihat adanya semangat pertanggungjawaban realisasi anggaran dan belanja daerah yang transparan, akuntabel, efisien, dan efektif oleh Pemkot Bandung.
Tahun 2022 ditandai dengan mulai terkendalinya pandemi Covid-19 sehingga situasi perekonomian masyarakat diharapkan kembali membaik. Tanpa bermaksud mengesampingkan sektor lainnya, Fraksi Partai Demokrat ingin lebih menyoroti sektor terkait kehidupan ekonomi masyarakat, terutama menyangkut indikator ekonomi makro.
Fraksi Partai Demokrat mengapresiasi angka kemiskinan di Kota Bandung yang telah menurun dari 112,50 ribu orang atau 4,37 persen pada 2021 menjadi 109,82 ribu orang atau 4,25 persen pada 2022. Namun demikian, kami melihat adanya peningkatan Gini Ratio tahun 2022 yang mencapai 0,459. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 sebesar 0,427. Artinya, terjadi kenaikan sebesar 0,032.
Angka Gini Ratio selalu mencerminkan terjadinya ketimpangan ekonomi di Kota Bandung. Fraksi Partai Demokrat menyoroti, bagaimana Pemkot Bandung menyikapi hal ini? Apa evaluasi dari Pemkot Bandung agar ke depan dapat menekan Gini Ratio yang meningkat, terlebih mengingat inflasi tahun 2022 itu sebesar 7,45 persen?* (Editor)