Sodetan Cisalatri Mengancam Keamanan Penduduk


Senin, 18 Januari 2016

EDDY KOES/BANDUNG ESKPRES AUDIENSI: Komisi C DPRD Kota Bandung, dan kontraktor saat rapat koordinasi sengketa Sodetan Cisalatri kemarin (14/1). Sambg: Dewan Nilai Ada Kelalaian DBMP Sengketa Sodetan Cisalatri Tak Jelas Ujung BATUNUNGGAL – Sengketa proyek pembangunan sodetan Cisalatri di wilayah Gedegede yang sudah berlangsung tiga tahun masih belum menemukan titik temu. Baik pihak men-kontraktor maupun sub-kontraktor atau pelaksana lapangan, masih-masing bersikukuh pada hitungan volume pekerjaannya. Padahal, sebagain bangunan sodetan ambruk dan mengancam warga yang berdomisili di kawasan Perumahan Panyilekan. ”Ancaman banjir terdampak ambruknya beton penyangga sodetan, merisaukan warga,” kata Kepala Bidang Pengairan DBMP Kota Bandung Sihar Sitinjak di sela rapat koordinasi yang digelar Komisi C DPRD Kota Bandung kemarin (14/1). Dia menjelaskan, melalui penilaian Politeknik Bandung (Polban), voleme pekerjaan sudah dianggap selesai 100 persen. Namun, terkait dengan pembayaran nilai pekerjaan, volume yang di rekomendasi sebesar sekitar 67 persen. ”Maka, pembayaran pekerjaanpun sesuai nilai volume pekerjaan sebesar Rp 1,076 miliar,” tukas Sihar Atas perhitungan itu, lanjut Sihar, di lapangan ada material tersisa sebanyak 34 persen. Kompenen tersebut tak bisa diakui DBMP sebagai aset yang diserahkan. Pasalnya, itu bagian yang tak dibayar. ”Material yang 34 persen bukan barang kami termasuk yang masih berdiri. Saat ini mendesak untuk dipindahkan sebab akan kami robohkan untuk normalisasi sungai,” ucap Sihar. Ternyata mengakaji kronologis perkara, lanjutnya, ini biang persoalan. Di Gedebage proyek sodetan pengairan cuma satu Cisalatri dua dengan pagu anggaran Rp 2,7 miliar. Tetapi, setelah melalui perhitungan proyek itu net nya menjadi Rp 2 miliar lebih, melalui pemenang lelang PT Lebak Wangi. Namun, karena penilaian lembaga independen Polban (66,7 persen), maka nilai yang harus dibayarkan Pemkot Bandung melalui SP2D sebesar Rp 1,076 miliar. ”Uang tersebut mengendap hampir dua tahun di kami. Sebab, di lapangan ada sengketa antara PT. Lebak Wangi dengan warga yang jadi pelaksana proyek,” jelas Sihar. Padahal, diakui Sihar, berdasarkan LKPP pekerjaan itu tidak boleh di-subkan. Fakta lapangan menjelaskan lain, sehingga tejadilah sengketa. Atas referensi itu pula, anggota komisi C DPRD Kota Bandung Folmer Silalahi menilai persoalan ini ranah menkontraktor dan subkontraktor atau suplayer. Tapi intinya pekerjaan ini sudah dilaksankan dan selesai. ”Perjanjian semua pihak terjadi kerancuan. Meskipun demikian, tetap harus diselesaikan. Sebab, menggunakan APBD,” tukas Folner.. Perjanjian SPK di bawah tangan yang terjadi di lapangan, di luar tatacara pembayaran Pemkot. Tetapi, jelas dia, tidak boleh melihat persoalan ini berlarut-larut. DBMP itu pemberi pekerjaan. Fungsinya sejauh mana mencuatnya persoalan ini, karena pengawasannya perlu dipertanyakan. ”Kan, ada pengawas independen yang dibayar. Faktanya ada 34 persen yang tidak sesuai spek, harusnya ada teguran tapi ini tidak terjadi,” sesal Folmer. ”Ini bukan persoalan hukum, pekerjaan penyimpangan teknis. Sebaiknya, ada kesepakatan yang baik. Musyawarahlah,” saran Folmer. Bukan rahasia umum, hampir semua pekerjaan di subkontrakan. Tujuannya baik ada ketertlibatan masyarakat, tetapi ketika ada maalah seperti ini siapa yang bertanggungjawab,” ucap Folmer. Para pihak yang mengerti di lapangan harus dihadirkan untuk menyelesaikan subkontrak hukum di lapangan. ”Yang 34 persen ini persoalan, karena masih milik pelaksana. Apakah akan diperhitungkan sebab ada nilai penyusutan. Intinya semuanya rugi. Tinggal semua pihak bijak. Ini masalah teknik lapangan,” ucap Folmer. Intinya ada kelalaian pihak pemberi order DBMP. Menurutnya, ini PR yang akan kita kejar sebab, ada selisih. Bukan tidak mungkin volume lapangan dapat lebih kecil. ”Angka ini sementara ini kita setuju Rp 2,47 miliar itu harus juga ada nilai bersih,” kata Jhonson Panjaitan, Wakil Ketua Komisi C di tempat sama. ”Penilaian kami ada kegagalan proyek yang dilaksankan DBMP. Itu perlu perbaikan untuk menyelematkan uang Negara,” sambung dia. Sementarta Ketua Komisi C Entang Suryaman meminta, angka yang final melalui musyawarah. ”Bila tak tercapai, silahkan menempuh jalur masing-masing,” kata Entang. Sebelumnmya, kegaduhan ini terjadi bermula dari gugatan pekerjaan sodetan sepanjang 1056 meter belum dibayar selama 3 tahun. Pelaksana sub proyek pembuatan sodetan, Deden Basari menuntut pembayaran pekerjaan sebesar Rp 600 juta lebih. Deden meminta ada keputusan antara dibayar dan tidak dari PT Lebak Wangi. ”Intinya tidak ada tawar menawar lagi, mau bayar tidak,” tegas Deden. Pernyataan Deden didukung Iwan yang selama kegiatan mengawasi normalisasi sungai di Wilayah Gedebage. ”Keluar masuk uang saya tahu, dan pekerjaan itu sempat terhenti,” kata Iwan seraya menyebut Proyek Cisalatri. Sementarta itu Pengacara PT Lebak Wangi, Lamhot Situngkir Silalahi menyatakan, ada poin yang harus diluruskan terkait dana. Sampai saat ini belum ada pembayaran, padahal sudah ada. ”Mediasi kami buka tidak menutup diri. Kami (PT Lebak Wangi) tidak keras kepala tapi yang dibayar 66 persen lebih. Supaya sama sama enak, ya kita berembug,” kata Lamhot. Tetapi, kalau dituntut full membayar dan pertemuan ini deadlock, silahkan menuntut secara hukum. Pesan pak Apep (Dirut PT Lebak Wangi), kami membuka ruang penyelesaian. Tapi kami juga cuma di bayar 66 persen. Terkait pembongkaran silahkan saja, tapi berharap tidak,” pungkasnya. (edy/fik)

bandungekspres.co.id– Sengketa proyek pembangunan sodetan Cisalatri di wilayah Gedegede yang sudah berlangsung tiga tahun masih belum menemukan titik temu. Baik pihak men-kontraktor maupun sub-kontraktor atau pelaksana lapangan, masih-masing bersikukuh pada hitungan volume pekerjaannya.

Padahal, sebagain bangunan sodetan ambruk dan mengancam warga yang berdomisili di kawasan Perumahan Panyilekan. ”Ancaman banjir terdampak ambruknya beton penyangga sodetan, merisaukan warga,” kata Kepala Bidang Pengairan DBMP Kota Bandung Sihar Sitinjak di sela rapat koordinasi yang digelar Komisi C DPRD Kota Bandung kemarin (14/1).

Dia menjelaskan, melalui penilaian Politeknik Bandung (Polban), voleme pekerjaan sudah dianggap selesai 100 persen. Namun, terkait dengan pembayaran nilai pekerjaan, volume yang di rekomendasi sebesar sekitar 67 persen. ”Maka, pembayaran pekerjaanpun sesuai nilai volume pekerjaan sebesar Rp 1,076 miliar,” tukas Sihar

Atas perhitungan itu, lanjut Sihar, di lapangan ada material tersisa sebanyak 34 persen. Kompenen tersebut tak bisa diakui DBMP sebagai aset yang diserahkan. Pasalnya, itu bagian yang tak dibayar. ”Material yang 34 persen bukan barang kami termasuk yang masih berdiri. Saat ini mendesak untuk dipindahkan sebab akan kami robohkan untuk normalisasi sungai,” ucap Sihar.

Ternyata mengakaji kronologis perkara, lanjutnya, ini biang persoalan. Di Gedebage proyek sodetan pengairan cuma satu Cisalatri dua dengan pagu anggaran Rp 2,7 miliar. Tetapi, setelah melalui perhitungan proyek itu net nya menjadi Rp 2 miliar lebih, melalui pemenang lelang PT Lebak Wangi. Namun, karena penilaian lembaga independen Polban (66,7 persen), maka nilai yang harus dibayarkan Pemkot Bandung melalui SP2D sebesar Rp 1,076 miliar. ”Uang tersebut mengendap hampir dua tahun di kami. Sebab, di lapangan ada sengketa antara PT. Lebak Wangi dengan warga yang jadi pelaksana proyek,” jelas Sihar.

Padahal, diakui Sihar, berdasarkan LKPP pekerjaan itu tidak boleh di-subkan. Fakta lapangan menjelaskan lain, sehingga tejadilah sengketa. Atas referensi itu pula, anggota komisi C DPRD Kota Bandung Folmer Silalahi menilai persoalan ini ranah menkontraktor dan subkontraktor atau suplayer. Tapi intinya pekerjaan ini sudah dilaksankan dan selesai.

”Perjanjian semua pihak terjadi kerancuan. Meskipun demikian, tetap harus diselesaikan. Sebab, menggunakan APBD,” tukas Folner..

Perjanjian SPK di bawah tangan yang terjadi di lapangan, di luar tatacara pembayaran Pemkot. Tetapi, jelas dia, tidak boleh melihat persoalan ini berlarut-larut. DBMP itu pemberi pekerjaan. Fungsinya sejauh mana mencuatnya persoalan ini, karena pengawasannya perlu dipertanyakan. ”Kan, ada pengawas independen yang dibayar. Faktanya ada 34 persen yang tidak sesuai spek, harusnya ada teguran tapi ini tidak terjadi,” sesal Folmer. ”Ini bukan persoalan hukum, pekerjaan penyimpangan teknis. Sebaiknya, ada kesepakatan yang baik. Musyawarahlah,” saran Folmer.

Bukan rahasia umum, hampir semua pekerjaan di subkontrakan. Tujuannya baik ada ketertlibatan masyarakat, tetapi ketika ada maalah seperti ini siapa yang bertanggungjawab,” ucap Folmer.

Para pihak yang mengerti di lapangan harus dihadirkan untuk menyelesaikan subkontrak hukum di lapangan. ”Yang 34 persen ini persoalan, karena masih milik pelaksana. Apakah akan diperhitungkan sebab ada nilai penyusutan. Intinya semuanya rugi. Tinggal semua pihak bijak. Ini masalah teknik lapangan,” ucap Folmer.

Intinya ada kelalaian pihak pemberi order DBMP. Menurutnya, ini PR yang akan kita kejar sebab, ada selisih. Bukan tidak mungkin volume lapangan dapat lebih kecil. ”Angka ini sementara ini kita setuju Rp 2,47 miliar itu harus juga ada nilai bersih,” kata Jhonson Panjaitan, Wakil Ketua Komisi C di tempat sama. ”Penilaian kami ada kegagalan proyek yang dilaksankan DBMP. Itu perlu perbaikan untuk menyelematkan uang Negara,” sambung dia.

Sementarta Ketua Komisi C Entang Suryaman meminta, angka yang final melalui musyawarah. ”Bila tak tercapai, silahkan menempuh jalur masing-masing,” kata Entang.

Sebelumnmya, kegaduhan ini terjadi bermula dari gugatan pekerjaan sodetan sepanjang 1056 meter belum dibayar selama 3 tahun. Pelaksana sub proyek pembuatan sodetan, Deden Basari menuntut pembayaran pekerjaan sebesar Rp 600 juta lebih.

Deden meminta ada keputusan antara dibayar dan tidak dari PT Lebak Wangi. ”Intinya tidak ada tawar menawar lagi, mau bayar tidak,” tegas Deden.

Pernyataan Deden didukung Iwan yang selama kegiatan mengawasi normalisasi sungai di Wilayah Gedebage. ”Keluar masuk uang saya tahu, dan pekerjaan itu sempat terhenti,” kata Iwan seraya menyebut Proyek Cisalatri.

Sementarta itu Pengacara PT Lebak Wangi, Lamhot Situngkir Silalahi menyatakan, ada poin yang harus diluruskan terkait dana. Sampai saat ini belum ada pembayaran, padahal sudah ada. ”Mediasi kami buka tidak menutup diri. Kami (PT Lebak Wangi) tidak keras kepala tapi yang dibayar 66 persen lebih. Supaya sama sama enak, ya kita berembug,” kata Lamhot.

Tetapi, kalau dituntut full membayar dan pertemuan ini deadlock, silahkan menuntut secara hukum. Pesan pak Apep (Dirut PT Lebak Wangi), kami membuka ruang penyelesaian. Tapi kami juga cuma di bayar 66 persen. Terkait pembongkaran silahkan saja, tapi berharap tidak,” pungkasnya. (edy/fik)


BAGIKAN

BERI KOMENTAR